Senin, 16 November 2015

Filsafat Ilmu: OTHER MINDS



OTHER MINDS

Dalam bab ini kita akan mempertimbangkan apakah saya bisa mempunyai pengetahuan tentang apa yang orang lain sedang pikirkan, secara lebih umum, apakah saya bisa mengetahui bahwa orang lain juga memiliki pikiran?, dengan mengasumsikan bahwa saya bisa, kita akan menyelidiki hal-hal yang memberikan justifikasi untuk pengetahuan semacam itu.

1.             Otoritas Orang Pertama (First Person Authority)
Banyak filsuf yang telah melihat pikiran sepertiBioskop Cartesian. Kita memiliki akses langsung ke bioskop kita sendiri di mana kita bisa mengubah sorotan introspektif pada pikiran dan keadaan mental yang berada di tengah panggung. Kita mempersepsikan dunia luar, dan kita bisa ‘mengintrospeksi dunia batin kita (dengan ‘mata batin kita’). Selain itu, telah diklaim bahwa kita tidak bisa salah tentang isi dari pikiran kita sendiri. Jika saya yakin bahwa saya sakit, maka saya memang dalam keadaan sakit, jika saya yakin bahwa saya suka es krim, maka memang benar saya suka es krim. Saya memiliki apa yang disebut ‘otoritas orang pertama. Kita telah medeskripsikan gambaran seperti ini sebelumnya. Menurut realis tidak langsung, saya tidak langsung menyadari dunia luar, gambaran itu hanya sense data yang secara langsung saya persepsikan, sense data yang mengisi bioskop Cartesian saya, dan menurut fondasionalisme tradisional, saya tidak bisa salah mengenai sifat dasar hal-hal tersebut. Kita akan melihat secara singkat beberapa masalah terkait gambaran pikiran seperti ini. Namun, tujuan utama dari bagian ini adalah untuk memperkenalkan konsep Cartesian tentang pikiran, karena hal inilah yang mendasari sebuah masalah skeptical yang penting, yaitu ‘masalah pikiran orang lain, yang merupakan fokus utama dari bab ini.
Seperti kita lihat di chapter sebelumnya, beberapa orang telah mempertanyakan terkait klaim fondasionalis tradisional yang beranggapan bahwa kita tidak bisa salah tentang pengalaman kita sendiri. Saya dapat keliru mengatakan ‘Magenta….. karena saya tidak mampu, atau mungkin hanya tidak benar-benar memperhatikan atau melihat atau benar-benar mengukur warna di depan saya. Jadi, selalu ada kemungkinan.... bahwa warna di depan saya bisa saja bukan magenta. Dan ini berlaku untuk kasus di mana saya berkata, ‘sepertinya, bagi saya pribadi, di sini dan sekarang, seolah-olah saya melihat sesuatu yang berwana ‘magenta, seperti banyak kasus di mana saya mengatakan, ‘Itu adalah magenta. Pola yang pertama mungkin lebih berhati-hati tetapi pernyataan itu tidak incorrigible. (Austin, 1962, p. 113)
Ada berbagai macam keadaan yang masuk akal dimana kita bisa keliru tentang keadaan mental kita sendiri. Anda bisa menutup mata seorang teman dan katakan kepadanya Anda akan menaruh batu panas di tangannya. Kemudian taruh es batu ditangannya dan tanyakan kepadanya apakah dia mendapatkan sensasi panas?. Atau dalam imajinasi Anda, gambarkan nonagon, poligon bersisi sembilan. Sekarang pertimbangkan apakah Anda yakin bahwa Anda sedang membayangkan jenis gambar tersebut. Apakah gambar tersebut benar-benar memiliki sembilan sisi, atau apakah mungkin memiliki delapan atau sepuluh sisi?. Ini adalah kasus yang memberikan kesan bahwa akses epistemik yang kita miliki kepada pikiran kita sendiri tidak sebaik seperti yang kita pikirkan. Ada juga saat-saat ketika kita mungkin menipu diri kita sendiri, yaitu ketika kita berpura-pura tidak sadar akan sifat sejati dari pikiran kita. Harry membanggakan dirinya menjadi tipe orang yang tidak pencemburu, tidak apa-apa jika istrinya pergi keluar dengan teman-teman laki-lakinya setelah bekerja. Namun, sudah jelas bahwa ia cemburu: dia menelepon istrinya lebih sering ketika dia keluar dengan laki-laki dibandingkan ketika istrinya keluar dengan teman-teman wanitanya, dan dia jauh lebih tertarik untuk mendengar rincian kegiatan yang istrinya lakukan pada malam tersebut. Dia menipu dirinya sendiri bahwa dia tidak pencemburu sejak ia lebih suka menjadi tipe orang yang tidak seperti itu, dia bersikap sebagai pencemburu.
Serupa dengan itu, kalimat “saya suka whisky”; bisa berarti “saya benar-benar demikian”... atau “saya hanya ingin menjadi seseorang yang meminum whisky. Conrad menulis dalam Lord Jim bahwa tidak ada manusia yang pernah benar-benar mengerti alasan liciknya untuk keluar dari bayang-bayang suram pengetahuannya sendiri (Conrad, 1957, p. 102). Dengan demikian dapat diragukan apakah kita mempunyai akses yang sempurna pada pikiran yang kita miliki. Dengan berkata demikian, terlihat jelas bahwa kita memiliki beberapa tingkatan keistimewaan untuk mengakses pikiran kita. Hal ini sejalan dengan pandangan modest fondasionalis bahwa kita memiliki justifikasi yang kuat untuk mempercayai bahwa akses introspektif kita terhadap pikiran yang kita miliki adalah akurat/cermat kecuali kita mengetahui adanya faktor-faktor yang menggagalkannya.
Kita tidak akan berkonsentrasi untuk mengetahui apakah kita memiliki akses yang sempurna pada pikiran yang kita miliki. Yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana kita bisa mengetahui apa yang orang lain sedang pikirkan. Dan aspek kunci dari gambaran Cartesian yang kita akan terus fokuskan yaitu klaim yang mengatakan bahwa kita memiliki akses langsung ke keadaan mental kita sendiri, namun tidak untuk orang lain. Oleh karena itu, kita harus menyimpulkan apa yang orang lain sedang pikirkan dengan mengamati perilaku mereka

2.      Masalah Pikiran Lain dan Solipsisme
Setiap orang skeptis tentang sejauh mana pengetahuan kita tentang apa yang orang lain sedang pikirkan. Kita sering mengatakan sesuatu seperti: “Apa yang sebenarnya dia pikirkan tentang hal itu?”, “dia tidak dapat dimengerti, dan “Saya tidak bisa memahaminya”. Sebuah skeptisisme yang lebih ekstrim dinyatakan oleh Paulus dalam film Last Tango in Paris (1972) ketika ia berbicara dengan mayat istrinya yang dibalsem yang meninggal bunuh diri: “Meskipun suaminya hidup dua ratus tahun (...), dia tidak akan pernah bisa menemukan sifat istrinya yang sesungguhnya. Maksudku, saya... saya mungkin bisa memahami alam semesta, tapi saya tidak akan pernah menemui kebenaran tentang Anda. Tidak pernah. Masalah yang akan kita lihat bagaimanapun masih lebih dalam lagi. Pertanyaannya adalah apakah saya dibenarkan dalam menyakini bahwa orang lain juga memiliki pikiran. Hal ini dikenal sebagai “masalah pikiran lain”.
Pada bagian sebelumnya dikatakan bahwa kita memiliki akses langsung ke pikiran dan keadaan mental kita sendiri. Namun, kita tidak memiliki akses yang demikian kepada pikiran orang lain. Untuk berusaha memahami apa yang Anda pikirkan, saya harus mengamati tindakan Anda dan mendengarkan apa yang Anda katakan. Dengan bertindak demikian, saya hanya memahami perilaku Anda secara langsung. Kemudian, muncul kemungkinan bahwa perilaku Anda tidak didorong oleh pikiran dan keadaan mental, tetapi Anda hanyalah seorang yang tanpa pikiran dan melakukannya secara otomatis seperti robot. “Jika saya melihat keluar jendela dan melihat orang-orang melintasi alun-alun, karena saya kebetulan baru saja melakukannya, saya biasanya mengatakan bahwa saya melihat sendiri laki-laki itu... Namun apakah saya melihat lebih dari sekedar topi dan mantel yang bisa menyembunyikan robot? (Descartes, 1986, hal. 21). Ini adalah analog dari skeptisisme Cartesian sehubungan dengan dunia luar. Pengalaman yang mungkin saya miliki dalam mempersepsikan tindakan dari pikiran dan gerakan sebuah robot tanpa pikiran tidak dapat dibedakan, dan dengan demikian saya tidak memiliki justifikasi untuk mempercayai bahwa perilaku Anda adalah bersumber dari pikiran Anda. Dengan demikian mengamati perilaku Anda bukanlah cara terbaik untuk mengetahui pikiran Anda.
Kesimpulan skeptikalnya adalah bahwa saya tidak punya alasan untuk berpikir bahwa ada pikiran lain yang eksis dan terpisah dari pikiran saya sendiri. Pandangan seperti ini disebut solipsisme. Solipsisme mungkin juga memiliki konsekuensi skeptikal yang lebih luas: pikirkan bagaimana pengaruhnya terhadap pengetahuan testimonial jika kita tidak memiliki pembenaran untuk percaya pada pikiran lain. Dalam pembahasan selanjutnya kita akan melihat berbagai tanggapan terhadap ancaman skeptikal ini.

3.      Argumentasi dari Analogi
Mill (1889) dan Russell (1948) berpendapat bahwa kita bisa memiliki pengetahuan tentang pikiran orang lain melalui penyimpulan. Untuk berlaku demikian kita harus beralasan dengan cara seperti berikut ini:
Premis                            : Saya tahu bahwa perilaku saya disebabkan oleh kondisi mental saya.
Premis                            : Saya mengamati perilaku serupa pada orang lain.
Kesimpulan        : Perilaku mereka disebabkan oleh keadaan mental mereka.
Dan begitu juga, dalam kasus tertentu:
Premis                  : Sakit kepala selalu menyebabkan saya mengeluh dan memijit-mijit pelipis saya.
Premis                            : Roy sedang mengeluh dan memijit-mijit pelipisnya.
Kesimpulan        :  Roy sakit kepala.
Bagaimanapun, terdapat masalah dengan menggunakan pendekatan ini, salah satunya menyangkut jenis penalaran yang dipakai. Kesimpulan umum ditarik dari bukti pengalaman tertentu: “karena perilaku saya disebabkan oleh kondisi mental saya, maka dikatakan bahwa hal ini benar bagi semua orang”. Bentuk argumen ini adalah induktif dan kita telah mengulas masalah generalisasi dalam induksi, solusi harus ditemukan untuk hal ini jika kesimpulan induktif adalah untuk memberikan kita keyakinan empiris yang terjustifikasi. Oleh karena itu, argumen dari analogi juga tergantung pada solusi semacam itu. Namun, yang penting adalah jenis induktif semacam ini memiliki masalah tersendiri. Dalam argumen dari analogi, kesimpulan umum ditarik hanya dari satu kasus tertentu: “saya menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki pikiran dari kenyataan bahwa saya memilikinya”.
Argumen ini bergantung pada bukti induktif yang sangat lemah: kita hanya memiliki satu kasus positif, yang kita miliki sendiri, dan kita melanjutkan untuk menyimpulkan bahwa semua makhluk yang memiliki perilaku relevan yang serupa merupakan pemikir seperti kita. Saya bisa memberikan argumentasi analog (argumen yang serupa) untuk klaim yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki ruang tamu berwarna hijau karena saya punya, tentu saja hal ini bukan merupakan kesimpulan yang dibenarkan untuk diambil.
Diseluruh chapter ini, kita akan mengingat seperti apakah sebenarnya untuk terhubung dengan orang lain dan untuk melihat mereka memiliki pikiran-pikiran. Saya bisa mengambil nuansa yang baik dari suara dan senyuman Anda, postur Anda bisa jadi mengindikasikan sifat dasar pikiran-pikiran Anda, dan gerakan mata Anda bisa jadi yang memperjelas. Kita semua mahir mengidentifikasi petunjuk perilaku halus yang demikian. Namun, menurut argumen dari analogi, kita hanya bisa mengambil perilaku semacam itu sebagai indikasi dari keadaan mental dari orang lain jika sebelumnya kita telah menemukan perilaku semacam itu sepertinya terasosiasi dengan keadaan mental kita sendiri. Terlebih dahulu akan terlihat bahwa kita tidak memiliki pengetahuan yang relevan terhadap perilaku kita sendiri. Sangat banyak dari kita yang tidak tahu dengan persis bagaimana kita berdiri, bagaimana mata kita bergerak, bagaimana kita memonyongkan bibir, atau bagaimana modulasi suara kita ketika mengekspresikan pemikiran. Sangat jelas hal ini memberikan suatu kejutan ketika kita mendengar rekaman suara kita sendiri atau melihat video kita sendiri. Oleh karena itu, terdapat masalah dari premis pertama pada argumen dari analogi. Kita tidak mengetahui secara cukup detail sifat dasar dari perilaku kita sendiri: Saya tidak sadar beberapa ciri-ciri halus dari perilaku saya sendiri, semacam ciri-ciri bahwa saya mampu melihat perilaku orang lain, bahwa hal itu memungkinkan saya untuk menganggapnya berasal dari keadaan mental bagi mereka.
Selanjutnya, ketika saya melihat orang lain seperti memiliki pikiran, itu tidak terlihat seperti menggunakan jenis penalaran yang disarankan oleh argumentasi analogi. Ketika saya melihat Anda menggosok pelipis Anda, secara tidak sadar saya berpikir bahwa “ saya berperilaku seperti perilaku Anda sekarang ketika saya sakit kepala”, dan dengan demikian saya percaya bahwa Anda sakit kepala. Saya tampaknya memperoleh keyakinan saya secara lebih langsung. Mungkin dengan keyakinan seperti itu saja, tidak berarti bahwa argumen dari analogi cacat. Bisa jadi bahwa kita terlalu cepat menarik kesimpulan (atau bahkan menarik kesimpulan secara tidak sadar); atau mungkin bahwa dalam kebanyakan kasus kita tidak dapat beralasan dengan cara ini, tetapi itu adalah kemampuan kita untuk dapat memberikan alasan justifikasi atas keyakinan yang kita miliki. Namun demikian, sifat non inferensial alami dari keterkaitan kita dengan orang lain jelas menunjukkan model yang berbeda untuk pengetahuan kita tentang pikiran orang lain, salah satu model yang lebih langsung adalah model seperti yang akan kita bahas selanjutnya.


4.        Melihat Pikiran
Mari kita berpikir tentang bagaimana orang terlihat bagi kita ketika kita bertunangan dengan mereka. Wittgenstein menyarankan bahwa ‘Tubuh manusia adalah gambar terbaik dari jiwa manusia (1953, hal.178.), yang mana ‘Kesadaran adalah sejelas dalam wajahnya dan perilakunya seperti dalam diriku (1967, §221), dan dia berkata, ‘Bisa dikatakan “saya melihat sifat malu-malu di wajah ini tetapi pada semua peristiwa sifat malu-malu ini tampaknya tidak selau ada, terhubung secara lahiriah dengan wajah, tetapi rasa takut ada, hidup dalam fitur tersebut’ (1953, §537). Inilah yang tampaknya dia maksudkan: Saya tidak sampai pada kesimpulan bahwa Anda sedang berpikiran dengan mengamati fitur perilaku Anda yang biasanya berhubungan dengan keadaan mental tertentu. Tampaknya, lebih baik saya langsung mengamati pikiran Anda.
Dalam memandang mata seseorang, keinginan atau kemarahan mereka dapat dengan segera diketahui. Misalnya Anda melihat dia seperti orang yang sedang berpikir, dan sepertinya menginginkan Anda, atau sepertinya marah dengan Anda. Anda tidak menyimpulkan bahwa dia sedang berpikir, meskipun Anda melihat bahwa sepertinya dia sedang berpikir. Ketika bersepeda ke tempat kerja, saya selalu sadar bahwa mobil bisa saja menarik saya keluar dari sisi jalan (menyenggol). Untuk menghindari akan hal ini, saya menatap pengemudi mobil yang mau menyenggol saya, ketika saya menarik perhatian mereka, tangan saya menekan tuas rem. Dalam menatap mata mereka, saya melihat pengemudi mobil sepertinya sedang berpikir, dan sepertinya melihat saya (dan sepertinya mungkin telah melihat bahwa saya juga sedang berpikir). Hanya setelah pengakuan timbal balik tersebut telah terjadi saat saya benar-benar merasa bisa bersepeda cepat dengan aman.
Dylan, anak kecil dari seorang teman saya, benar-benar menyukai cokelat dan ketika saya mengunjunginya saya biasanya membawa satu atau dua bar coklat. Namun, kadang-kadang saya lupa dan dia kecewa, kekecewaan ini jelas di wajahnya: wajahnya ‘turun. Tampaknya salah untuk mengatakan bahwa saya memahami apa yang dia sedang rasakan dengan membuat kesimpulan berdasarkan keyakinan yang saya miliki tentang kontur perubahan wajahnya. Deskripsi yang lebih baik yaitu bahwa saya hanya melihat dia, secara langsung dan tanpa perantara, beralih dari harapan kekecewaan.
Pengamatan ini dapat menangkap karakter interaksi kemanusiaan kita, tetapi tidak jelas apakah hal tersebut merupakan argumen terhadap solipsis atau tidak. Mungkin saya tidak bisa, tetapi percaya bahwa orang lain memiliki pikiran. Namun, klaim solipsistik adalah keyakinan ini tidak benar: kenyataan bahwa saya melihat orang-orang yang sepertinya berpikir tidak berarti bahwa benar mereka berpikiran. Seorang pengemudi laki-laki mengaku bahwa perempuan memiliki teknik mengemudi yang jelek, namun dia salah. Beberapa mengaku bahwa saya adalah tangan Tuhan yang beroperasi di alam, tapi ini saja tidak cukup untuk memberikan pembenaran untuk percaya intervensi yang demikian. Kuncinya adalah apakah kita dibenarkan dalam mengklaim memahami bahwa orang lain memiliki pikiran, dan dengan demikian apakah kita memiliki alasan bagus untuk menolak solipsisme. Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus beralih ke argumen yang mengancam gambaran pikiran Cartesian, yang mana kita memiliki akses langsung ke keadaan mental pribadi kita yang mana hanya akses tidak langsung yang kita miliki ke keadaan mental orang lain. Ini adalah konsepsi pemutar pikiran yang mendorong argumen untuk solipsisme.

5.      Argumen Bahasa Pribadi yang Ditinjau Ulang
Menurut penjelasan Cartesian tentang pikiran, saya belajar untuk memahami arti dari kata-kata yang mengacu pada keadaan mental dari kasus saya sendiri. Kesakitan adalah sensasi-sensasi tertentu yang saya sadari dari waktu ke waktu, dan keinginan untuk cokelat adalah jenis keinginan tertentu yang sering saya miliki. ‘Kata-kata individu bahasa ini adalah untuk merujuk pada apa yang hanya dapat diketahui oleh orang yang berbicara, ke sensasi pribadinya yang langsung(Wittgenstein, 1953, §243). Perasaan yang ini adalah rasa sakit, dan yang ini adalah keinginan untuk coklat. Episode pembelajaran yang demikian adalah bersifat pribadi, yang dilakukan di dalam satu bioskop Cartesian sendiri, sebuah bioskop yang orang lain tidak bisa masuki. Orang lain hanya melihat papan iklan diluar, yaitu perilaku seseorang, dan bukan pertunjukan di panggung (keadaan mental seseorang yang sebenarnya).
Namun, Wittgenstein berpendapat bahwa hal ini bukan cara bagaimana kita mulai memahami pikiran kita sendiri. Jika hanya ini satu-satunya jenis akses yang kita miliki ke pikiran kita, maka kita tidak bisa mengetahui apakah kita benar menerapkan istilah keadaan mental kita atau tidak. Bagaimana kita mengetahui bahwa kita tidak menerapkan hal tersebut sembarangan? Satu-satunya cara yang bisa dipastikan penggunaan kita adalah konsisten jika ada beberapa kriteria kebenaran obyektif. Pendapat kita sendiri tentang penjelasan apa terhadap jenis sensasi yang sama atau kondisi mental tidak obyektif dalam arti yang diperlukan.
Kita bisa membicarakan dan mengidentifikasi kondisi mental kita sendiri dan hal ini terjadi karena ada kriteria objektif untuk aplikasi istilah keadaan mental, dan kriteria ini berkaitan dengan perilaku. Klaim Wittgensteinian yaitu bahwa Anda hanya mulai memahami apa artinya ‘rasa sakit ketika Anda memahami bahwa ada karakteristik perilaku tertentu dari sensasi itu, perilaku seperti mengerang dan merintih. Hal ini juga terjadi sehubungan dengan keadaan mental kami yang lain: Anda hanya memahami apakah memiliki keinginan untuk cokelat atau tidak jika Anda tahu bahwa keinginan seperti itu menyebabkan Anda mengkonsumsi permen tersebut. Ada hubungan konseptual antara perilaku yang dapat diamati dan kepemilikan pikiran.

6.      Behaviorisme
Behavioris mengklaim bahwa pikiran tidak tersembunyi di dalam kepala, melainkan pikiran ada dalam gerakan tubuh dan suara yang dikeluarkan. Mentalitas tidak lebih dari perilaku. Karena itu, saya bisa langsung melihat dan mendengar pikiran Anda. Contoh sebelumnya, Dylan, selirik keinginan, akhirnya bertatap mata dengan seorang pengemudi mobil, semuanya menimbulkan pendekatan ini kearah pikiran yang menarik. Mengutip Wittgenstein: itu tampak seolah-olah kesadaran sejelas dalam wajah dan perilaku orang seperti yang ada dalam diri saya.
Behaviorisme populer pada paruh pertama abad yang lalu. Para positivis logis menyatakan bahwa pernyataan yang tidak dapat diverifikasi adalah sia-sia dan, bagi mereka pernyataan hanya bisa diverifikasi jika itu bisa diuji melalui observasi atau eksperimen ilmiah. Behaviorisme berada dalam posisi yang menarik karena menurut teori semacam itu, pikiran bisa diselidiki secara ilmiah. Pikiran bukan semacam roh gelap yang pada dasarnya tersembunyi dari pandangan, seperti dualis telah pikirkan, namun pikiran terbuka untuk dilihat. Dalam mengamati perilaku Anda, saya mengamati pikiran Anda.
Namun, Behaviorisme dilanda dengan masalah. Pertama-tama harus diperjelas bahwa behavioris tidak mengklaim bahwa saya sebenarnya harus benar-benar mengerang, katakanlah, kalau saya sakit, meskipun saya mengerang. Gagasan disposisi perilaku ini memainkan peran kunci dalam penjelasan behavioris. Saya mungkin menahan erangan saya untuk mengesankan teman-teman saya, tapi saya tertantang atau cenderung mengerang, dan inilah yang mau saya lakukan jika tidak ada orang lain di sekitar saya. Meskipun saya menginginkan es krim, saya mungkin tidak berjalan ke van es krim karena saya tidak punya cukup uang untuk membelinya. Namun, saya mungkin memuaskan keinginan saya jika tidak ada kendala yang demikian. Bagi behavioris, kondisi mental tertentu diidentifikasi melalui seperangkat disposisi perilaku. Namun, tidak jelas apakah deskripsi definitif tentang perangkat yang demikian dapat diberikan. Jika saya menginginkan es krim, maka saya pasti berjalan ke van es krim, tetapi tergantung pada keyakinan yang lain, saya sebenarnya bisa benar-benar tertantang untuk berperilaku dengan cara apapun. Jika saya percaya bahwa dewa es krim menyukai mereka yang bersiul ‘Dixie, maka saya dapat bersiul ‘Dixie. Jika saya percaya bahwa seseorang telah mengubur bak Ben & Jerry di kebun, maka saya dapat menggali bunga tidur. Semua jenis perilaku dapat dimanifestasikan oleh seseorang yang menginginkan es krim, sehingga behavioris tidak dapat memberikan penjelasan tentang keadaan mental dalam hal disposisi perilaku. Masalah lain bagi behavioris yaitu bahwa mereka telah dituduh ‘berpura-pura anestesi, yaitu mengabaikan kualitas pengalaman tentang bagaimana rasanya memiliki keadaan mental tertentu. Banyak yang bekerja dalam filsafat pikiran yang mengklaim bahwa pemahaman kita tentang pikiran bersifat teoritis.

7.      Pengetahuan Teoritis tentang Pikiran
Ketika nyala api diletakkan di bawah sebuah panci air, air memanas dan berangusur-angsur mendidih. Jika kantong teh kemudian ditambahkan, air secara berangsur akan berubah menjadi cokelat. Tapi mengapa hal ini terjadi? Kita tidak bisa tahu hanya dengan mengamati isi panci. Namun, kita memiliki teori yang menjelaskan fenomena ini. Teori ini melibatkan deskripsi entitas tertentu yang tidak teramati seperti molekul H2O yang ada dalam air. Memasang energi panas ke dalam panci menyebabkan molekul-molekul ini bergerak lebih banyak dan lebih keras sampai pada titik didih, beberapa dari molekul tersebut terbang ke atmosfer seperti uap. Sisa molekul yang bergerak cepat berdifusi masuk dan keluar dari kantong teh berpori, melarutkan senyawa berwarna tertentu dalam perjalanan molekul tersebut, yaitu senyawa yang ditemukan dalam daun teh. Kita percaya penjelasan ini karena memberikan penjelasan tentang apa yang kita lihat dan yang penting adalah teori ini dapat digunakan untuk memprediksi, yaitu prediksi yang kemudian dapat diuji. Ketika kantong teh ditambahkan ke dalam air pada temperatur yang berbeda, air panas akan berubah menjadi cokelat dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan air dingin (hal ini karena molekul-molekul yang bergerak cepat memiliki tingkat difusi yang lebih tinggi). Hal ini memang terjadi, dan karena itu kita memiliki prediksi sukses yang mendukung teori molekul kami.
Dalam bagian ini kita akan melihat klaim yang mengatakan bahwa anggapan dari keadaan mental juga teoritis. Saya tidak bisa langsung mengamati apa yang menyebabkan Anda berperilaku dalam cara yang Anda lakukan. Namun, saya bisa memiliki penjelasan teoritis tentang perilaku Anda. Teori ini disebut ‘psikologi rakyat / folk psychology. Disebut demikian karena tidak melibatkan jenis entitas yang ada di rumah dalam konteks ilmiah, seperti molekul di atas. Psikologi rakyat menganggap keberadaan seperti keadaan mental sehari-hari seperti keyakinan, keinginan, rasa sakit, harapan dan ketakutan, dan itu adalah keadaan mental yang memberikan penjelasan atas tindakan orang-orang. Ada teoritis keadaan karena hal tersebut tidak bisa diamati secara langsung (kecuali jika Anda behaviorist). Sama seperti ilmu fisika yang menganggap sebuah hukum terkait perilaku dari entitas teoritisnya, begitu pula psikologi rakyat. Psikologi rakyat mencakup generalisasi yang demikian karena mereka yang sedang sakit cenderung berteriak, dan orang akan pergi ke lemari makan jika mereka lapar dan percaya bahwa lemari itu penuh dengan makanan. Oleh karena itu, kita dapat menggunakan generalisasi tersebut untuk memahami apa yang seseorang pikirkan atau rasakan. Jika ada teori yang menjelaskan terjadinya fenomena tertentu dengan lebih baik daripada teori alternatif lainnya, maka Anda dibenarkan dalam menyakini teori tersebut.
Mungkin tampak bahwa penjelasan teori tersebut bertentangan dengan pengamatan kita sebelumnya bahwa kita tampaknya terlibat langsung dengan pikiran orang lain. Ada perbedaan antara fenomena yang langsung kita rasakan dan entitas teoritis yang menjelaskan penampilan yang demikian. Sifat fisik dari molekul H2O menjelaskan mengapa air mendidih, dan memang keadaan psikologis rakyat menjelaskan perilaku kita. Dalam kedua kasus, entitas teoritis kimia dan psikologi rakyat tidak diamati. Hal tersebut hanya diambil untuk menjelaskan yang mana yang dapat diamati. Dan seperti dikatakan, ini tampaknya bertentangan dengan klaim yang mengatakan bahwa kita ‘memahami pikiran’. Barangkali, penjelasan teoritis bisa masuk akal terkait aspek pengalaman kita.
Ketika pertama kali belajar menggunakan mesin ultra-suara, seorang perawat mengamati berbagai bentuk pada layar, dan sebuah teorilah yang memungkinkan dia untuk menafsirkan pola tersebut: ‘jika ada bayangan di sana dan daerah gelap disebelh kiri, maka bayi adalah laki-laki’. Namun, melalui praktik, dan seiring perawat tersebut mahir menafsirkan apa yang dia lihat, dia tidak lagi memberi alasan dengan cara ini. Dia langsung memahami bahwa bayi itu adalah laki-laki. Berikut ini adalah contoh lain dari interpretasi non-inferensial (penafsiran yang tidak bersifat kesimpulan). Selama bertahun-tahun sepeda saya kayaknya bunyi-bunyi karena sudah lama. Ketika pertama kali mendengar suara tersebut saya mencoba mencari sumbernya. Untuk melakukan hal ini, saya berfikir apakah itu suara biasa, apakah itu suara kesekan besi, dan apakah bunyi tersebut akan terjadi terus. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu membantu saya untuk mengembangkan teori untuk menjelaskan mengapa bunyi tersebut terjadi. Jika itu adalah suara biasa, dan bukan merupakan bunyi karena gesekan besi, maka kemungkinan disebabkan oleh pelek roda yang menggosok pada bantalan rem. Sekali lagi, seiring saya mahir dalam menerapkan teori saya, saya tidak perlu lagi berpikir seperti yang sebelumnya. Saya langsung bisa membedakan suara tertentu yang mana yang merupakan suara gesekan rem. Barangkali hal tersebut dapat diikut oleh psikolog rakyat. Seiring kita mahir dalam menerapkan teori rakyat kita, kita tidak perlu beralasan seperti berikut: ‘Ludwig sedang menggeliat di atas lantai, pasti dia mengalami kesakitan’, melainkan kita bisa langsung memahami bahwa Ludwig sedang mengalami kesakitan. Maka dari itu, penjelasan teoritis bisa menawarkan solusi untuk masalah pikiran lain. Keberhasilan penjelasan dan prediksi teori psikologi rakyat kami memberikan pembenaran bagi keyakinan kita tentang pikiran orang lain, dan jika kita menerima hal tersebut di atas, maka kita juga dapat mengakomodasi klaim persuasif yang kita pahami terkait keadaan mental orang lain yang beroperasi dalam tindakan mereka sehingga kita tidak menyimpulkan bahwa hal tersebut ada. Tidak ada orang yang benar-benar solipsis, tidak ada orang yang dapat hidup semacam skeptisisme, tetapi apakah kita memiliki pembenaran untuk keyakinan kita dalam keberadaan pemikir lainnya? Kita sudah melihat ketiga pendekatan luas untuk pertanyaan ini.
Pertama, saya bisa menyimpulkan bahwa Anda memiliki pikiran karena Anda berperilaku seperti saya. Kedua, saya bisa langsung merasakan pikiran Anda karena perilaku Anda tidak harus selalu dilihat hanya sebagai bukti bahwa Anda berpikiran, melainkan hal tersebut merupakan konstitutif dari pikiran Anda. Ketiga, penjelasan terbaik untuk perilaku Anda yaitu perilaku Anda didorong oleh keadaan mental internal Anda.

REFERENSI

O’Brien, Dan. 2006. An Introduction to The Theory of Knowledge. United Kingdom: Polity Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar