FONDASIONALISME
Keyakinan atau
kepercayaan harus dijustifikasi dalam rangka pertanggungjawaban rasional atas
klaim kebenaran kepercayaan atau pendapat yang kita pegang. Justifikasi adalah
alasan kenapa seseorang memiliki suatu kepercayaan, sebuah penjelasan mengenai
kenapa sebuah kepercayaan adalah benar, atau bagaimana seseorang tahu apa yang
diketahuinya. Ada
beberapa teori justifikasi, diantaranya adalah Fondasionalisme, Koherentisme,
serta Internalism dan eksternalism. Pada bab ini kita akan membahas lebih dalam
mengenai teori fondasionalisme.
I.
The Regress Argument for
Traditional Foundationalism
Kita
memiliki cara berpikir dengan suatu gagasan bahwa kepercayaan dapat
dijustifikasi (dibenarkan) bila kita mempunyai alasan yang tepat untuk
menganggapnya benar. Keyakinan saya bahwa “restoran lokal asia tidak
menyediakan Chana Puri minggu ini” bisa dijustifikasi (dibenarkan) oleh
keyakinan saya bahwa “saat itu Ramadhan”, dan keyakinan saya bahwa “breakfast chef tidak bekerja selama
festival keagamaaan ini berlangsung”. Jadi keyakinan A dijustifikasi oleh
keyakinan B dan C. Dengan justifikasi semacam itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa dengan menyampaikan B dan C, saya berkesimpulan bahwa A memang benar.
Tetapi, untuk menjadikan B dan C berperan sebagai penjustifikasi, saya
memerlukan alasan lebih lanjut untuk menganggap hal itu (B dan C) benar.
Disanalah kemudian ada bahaya penarikan mundur (regress) dari sebuah justifikasi. Walaupun keyakinan C
dijustifikasi dengan keyakinan D, “saya percaya saat itu Ramadhan karena
kalender memperlihatkannya”, sebuah pertanyaan tetap akan mengemuka terkait
apakah saya memiliki alasan yang bagus untuk mempertahankan keyakinan ini lebih
lanjut (dan seterusnya sampai tak terbatas). Hal ini dianalogikan seperti rasa
ingin tahu anak-anak yang secara terus menerus membalas semua penjelasan dengan
pertanyaan “mengapa?”. Kondisi inilah yang disebut sebagi regress argument dalam justifikasi tradisional. Untuk menghindari
adanya regress ini maka
diperkenalkanlah sebuah teori pembenaran yang dinamakan Foundationalism atau Fondasionalisme.
Fondasionalisme
adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan
untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu
fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat
diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Adapun
fondasi yang dimaksud oleh para penganut teori pembenaran ini bisa berbentuk
intuisi akal budi atau persepsi indrawi. Intuisi adalah kemampuan memahami
sesuatu tanpa penalaran rasional dan intelektual dan persepsi indrawi adalah
pengalaman yang didapatkan melalui sense indera yang kita miliki. Ungkapan
seperti: “menurut pendapat saya”, “menurut penglihatan saya”, “perasaan saya
mengatakan.....” adalah pernyataan-pernyataan pembenaran yang berasal dari
paham fondasionalisme ini.
Para
penganut teori ini membedakan kepercayaan dalam justifikasi ini menjadi dua
bagian yaitu:
a. Kepercayaan
dasar
Kepercayaan dasar
adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan
sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan.
Secara tradisional, keyakinan dasar memiliki karakteristik
·
Infallible
/ suatu keniscayaan/ kesempurnaan (tidak bisa salah);
·
Incorrigible
/ sesuatu yang tidak dapat diperbaiki (tidak dapat disangkal);
·
Indubitable
/ sesuatu yang sudah pasti (tidak dapat diragukan).
Contoh keyakinan dasar misalnya pada perhitungan matematika
kepercayaan dasarnya adalah “positif dikalikan positif = positif ”, “positif
dikalikan negatif = negatif-” dan “ negatif
dikalikan negatif = positif”
b. Kepercayaan
simpulan.
Kepercayaan simpulan adalah
kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar. Sebagai
contoh, dengan keyakinan dasar bahwa bilangan “positif kali positif adalah
positif”, maka semua bilangan yang mengikuti pola “positif kali positif” pada
akhirnya harus sesuai dengan keyakinan dasar tersebut, yaitu hasil akhirnya
positif. Seperti 2x2=4, 2x3=6, dst.
Dengan
demikian, justifikasi kebenaran berstruktur hierarkis, dimana kepercayaan dasar
sudah benar pada dirinya sendiri, sedangkan kepercayaan simpulan hanya dapat
dibenarkan berdasarkan kepercayaan dasar. Menurut penganut paham
fondasionalisme, justifikasi sebuah keyakinan harus dikembalikan kepada sebuah
kepercayaan dasar. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk:
(1) Menghindari
argumen penarikan mundur yang terus-menerus (infinite
regress argument).
(2) Menghindari
skeptisisme dalam pengetahuan.
Untuk
menjelaskan kedua tujuan ini maka berikut ini akan disajikan sejumlah opsi yang
dapat diilustrasikan bagi pendasaran kebenaran ini.
·
Pertama, kepercayaan A berdasar pada
kepercayaan B, dimana B sendiri tidak jelas kebenarannya.
·
Kedua, kepercayaan A berdasar pada
kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayaan C, dan begitu seterusnya sampai
tak terhingga.
·
Ketiga, kepercayaan A berdasar pada
kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayan C, sedangkan C sendiri berdasar
pada kepercayaan A.
·
Keempat, kepercayaan A berdasar pada
kepercayaan B yang sudah jelas dengan sendirinya dan tidak memerlukan
pembenaran lagi.
Bagi
kalangan fondasionalis, tidak mungkin mendasarkan sebuah keyakinan pada suatu
keyakinan lain yang keyakinan terakhir ini masih butuh pendasaran pada
keyakinan lain lagi sampai tidak ada habisnya, sebagaimana dalam opsi kedua.
Begitu juga dengan pilihan ketiga, yang terjadi hanyalah lingkaran setan yang
tidak berpangkal dan tidak berujung. Adapun yang pertama sama sekali tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena ketidakjelasannya. Dengan adanya kepercayaan dasar
sebagai fondasi yang tidak lagi memerlukan pembenaran dari yang lain,
sebagaimana dalam opsi keempat, kepastian dalam pengetahuan dapat tercapai.
Dalam perkembangannya, teori fondasionalisme dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu:
1.
Fondasionalisme
versi ketat (hard foundationalism)
Menuntut
agar kepercayaan dasar yang menjadi fondasi justifikasi pengetahuan adalah
kepercayaan yang tak boleh keliru, tidak dapat diragukan, dan tidak dapat
dikoreksi lagi. Oleh karena itu sebuah argumentasi
pembenaran harus merujuk pada kepercayaan tertentu sebagai “genus proximum” sehingga dapat dijadikan
landasan bagi inferensi logis dari kepercayaan dasar tersebut. Beberapa tokoh hard fondationalism yang dapat dicatat
antara lain, Descartes, Leibniz, dan Spinoza dari kalangan rasionalis; Locke,
Berkeley, dan Hume dari kalangan empiris; serta Russell, Ayer, dan Carnap dari
kalangan positivis logis.;
2.
Fondasionalisme
versi moderat atau longgar
Fondasionalisme
moderat menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat disebut sebagai kepercayaan
dasar dan menjadi fondasi justifikasi pengetahuan bila secara intrinsik memiliki
probabilitas kebenaran yang tinggi. Fondasionalisme versi moderat tak menuntut
bahwa kepercayaan harus tak dapat keliru dan tak dapat diragukan, dan juga
tidak menuntut implikasi logis. Apa yang paling diperlukan adalah “penjelasan
terbaik” yang dapat diberikan berdasarkan sebuah kepercayaan dasar.
II.
Sellars and the Myth of the Given
Menurut
pandangan fondasionalis tradisional, justifikasi terhadap semua kepercayaan
empiris kita pada akhirnya berasal dari konten pengalaman perseptual. Konten
dari pengalaman perseptual ini seringkali dikatakan sebagai “given” (pemberian).
Wilfrid
Sellars (1912-1989) adalah seorang fondasionalis dalam aliran empirisme tetapi
ia mengkritisi bahaya jatuhnya empirisme ke dalam “Myth of the Given”. Dalam bukunya Empiricism and the Philosophy of Mind, Sellars mempertahankan suatu
bentuk empirisme tetapi sekaligus mencegah adanya anggapan mengenai “Mitos
Pemberian” itu. Empirisisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa
pengetahuan yang benar itu harus bersumber dari pengalaman (empeiria). Pengalaman, entah yang
bersifat indrawi atau batiniah, menjadi pokok refleksi utama. Ide-ide yang ada
dalam pikiran kita itu berasal dari pengalaman langsung akan sesuatu.
Ada
dua argumen dari Sellars yang digunakan untuk mengkritik teori fondasionalisme
tradisional yaitu pertama, dia mengganggap bahwa pengetahuan adalah bagian
“ruang logis dari sebuah alasan” (logical
space of reason); kedua, dia menyediakan suatu bentuk alternatif untuk
mengatakan “itu terlihat merah olehku” sesuatu hal yang secara tradisional
terlihat sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah, dalam bentuk “Looks Talk” sebagai bentuk dasar
persepsi pengetahuan kita.
Dalam
konteks persepsi indrawi, Myth of the
Given adalah anggapan yang menyatakan bahwa pengalaman indrawi itu dapat
secara langsung kita ketahui tanpa adanya suatu pengetahuan atau konsep yang
terasosiasi dengan pengalaman itu. Pengalaman indrawi itu “terberi” begitu saja
kepada subjek pengamat. Sebagai contoh, bagaimana saya dapat berkata bahwa “ini
berwarna merah”? Dalam kacamata Myth of
the Given, warna merah itu sudah terberi begitu saja dan kita mengenalnya
sebagai “warna merah”.
Sementara
itu, Sellars berpandangan lain. Menurutnya, untuk dapat mengatakan “ini
berwarna merah”, kita membutuhkan terlebih dahulu konsep mengenai “apa itu
merah”. Untuk dapat memiliki konsep “apa itu merah”, tentu saja hal itu
mengasumsikan bahwa kita mengetahui perbedaan warna merah dari warna-warna
lainnya, termasuk juga membedakan konsep warna dari konsep-konsep lain seperti
bentuk, ukuran, dan lain-lain. Dengan kata lain, perkataan “ini berwarna merah”
adalah sebuah ekspresi akan pengalaman observasional yang memuat dua unsur
yaitu: pertama “ini berwarna merah” merupakan tanda/symptom akan kehadiran
sebuah objek yang secara visual berwarna merah; kedua, “ini berwarna merah”
juga merupakan tanda akan kehadiran konsep yang dimiliki oleh si pengamat bahwa
“ini berwarna merah” dan bukan berwarna hijau, kuning, hitam, dan sebagainya
Dari
pemahaman Sellars ini, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah persepsi indrawi
terdapat kaitan erat antara subjek dan objek. Subjek tidak semata-mata pasif
atau hanya menerima begitu saja apa yang sudah “terberi” di dalam objek. Subjek
pun memiliki peranan untuk mengenali pengalaman itu. Dengan demikian, suatu
persepsi indrawi memuat adanya korelasi antara objek yang menampakkan dirinya
serta subjek yang menangkap objek tersebut dengan kerangka konsep tertentu.
III.
Konten
Konseptual dan Non Konseptual
Kepercayaan adalah konsep yang berperan dalam proses
justifikasi. Hanya dengan memikirkan susunan konsep kepercayaan kita dapat
menyediakan alasan untuk memberikan justifikasi atas suatu objek. Hal ini dapat
terjadi karena mereka dapat membentuk argumen. Seperti misalnya :
Dalam mempercayai sifat cumi-cumi adalah kenyal, maka
saya meyakini konsep tentang cumi dan konsep tentang sifat yang kenyal.
Kepercayaan saya bahwa Terry tidak akan memesan cumi-cumi di restauran karena
kepercayaan saya bahwa Terry tidak suka makan sesuatu yang kenyal dan dikuatkan
lagi dengan kepercayaan saya bahwa cumi-cumi bersifat kenyal. Dari kepercayaan
saya bahwa Terry tidak suka makan makanan yang kenyal dan kepercayaan saya bahwa
cumi-cumi bersifat kenyal, maka saya yakin Terry tidak akan memesan cumi-cumi.
Kepercayaan sebelumnya memberikan alasan yang bagus bahwa sesuatu yang mungkin
akan terjadi nanti tampaknya
akan menjadi kenyataan. Justifikasi merupakan gagasan yang bersifat kesimpulan
atau berasal dari suatu percakapan.
Pada pembahasan tentang persepsi di chapter 4,
fondasionalis tradisional memperkenalkan pada kita berbagai macam jenis
pengalaman perseptual yang bagi kalangan non-epistemic
dilihat sebagai “given” atau
pemberian. Pengalaman semacam itu dengan sendirinya menjadi non-konseptual,
namun hal itu menyediakan bahan mentah bagi struktur konseptual dari persepsi
dan pemikiran kita. Bagi kalangan fondasionalis tradisional, “The given” terdiri dari pengalaman
non-konseptual yang memainkan peran sebagai penjustifikasi. Namun menurut
Sellar, bagaimanapun konten pengalaman tidak menyediakan kita alasan untuk
berpikir tentang sesuatu yang pasti. Oleh karena itu, “the given” adalah sebuah mitos.
Kalangan fondasionalis
tradisional menyatakan bahwa yang bersifat sebagai gambaran tidak boleh
disejajarkan dengan “konseptual”. “Given”
adalah sebuah gambaran/ represensasional yang membawa informasi tentang dunia
luar walaupun tidak memerlukan sebuah konsep untuk melakukannya.
Informasi non
konseptual adalah deskripsi nyata dari informasi konseptual. Seperti misalnya dijelaskan dalam contoh berikut ini: anggaplah kita memiliki sebuah
konsep tentang gunung yaitu sesuatu yang ada di utara dan memiliki sungai kecil
dan berbatu. Maka ketika kita pergi kesana (gunung), dan berdiri tepat di depannya
maka kita memperoleh informasi yang lebih banyak dan mendetail yang tidak
terdeskripsikan
secara konseptual. Informasi tentang deskripsi nyata tentang sebuah gunung
diluar konsep yang telah kita miliki merupakan suatu konten non-konseptual dari
sebuah pengalaman (persepsi indrawi)
IV.
Wittgenstein’s Private Language
Argument
Wittgenstein menyoroti
persoalan besar tentang kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa sulitnya
memahami persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan bahasa itu
disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang
mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah suatu
ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu, menurut
Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam
berfilsafat. Termasuk dalam kekacauan bahasa, diantaranya adalah gagasan dari
bahasa pribadi yang sifatnya dirahasiakan. Wittgenstein menggunakan
bermacam-macam argumen untuk menunjukan arti premis ini yang sesungguhnya sementara
itu ia menunjukan bahwa premis-premis tersebut tidak dapat dipertahankan.Wittgeinstein’s
mengemukakan bahasa yang bersifat pribadi hanya bisa diketahui oleh
pembicaranya saja, sehingga orang lain tidak bisa mengerti bahasa si pembicara.
Jadi pendapat ini, tidak dapat dijadikan dasar kebenaran seperti paham
fondasionalisme.
Misal:
·
Seorang anak kecil yang memberi nama
khusus untuk semua mainannya yang
hanya
dapat dimengerti oleh anak itu.
·
Penulisan kode atau simbol pada diary
untuk mendeskripsikan sensasi penulisnya.
V.
Experience and Thought (Pengalaman dan Pemikiran)
Menurut kalangan fondasionalis,
ada dua elemen dalam pengalaman kognitif kita yaitu sebuah data atau sense
(rasa) yang segera hadir atau terberi dalam pikiran dan sebuah bentuk,
konstruksi, atau interpretasi yang menggambarkan aktivitas pemikiran.
Melalui persepsi kita
menerima informasi non konseptual tentang dunia, yang menyediakan bahan mentah
bagi struktur konseptual dari persepsi dan pemikiran. Pengalaman perseptual itu
sendiri bagaimanapun juga bersifat independen dari aktivitas kognitif semacam
itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya, pengalaman perseptual
dipengaruhi oleh bermacam-macam pikiran yang mampu kita miliki.
Sebagai contoh, Collete adalah pemain cello profesional dan ia
mempelajari musik selama bertahun-tahun. Antoine adalah seorang yang jarang mendengarkan musik klasik dan tidak bisa
membedakan kunci B datar dari C. Antoiune dan Collete pergi ke pertunjukan Cello. Mari
kita pertimbangkan seperti apa sifat dasar dari pengalaman mereka masing-masing
saat mengikuti konser. Fondasionalis akan menyatakan bahwa mereka berdua
mendapatkan pengalaman yang sama. Ini terjadi karena keduanya menerima
rangsangan fisikal yang sama (immediate
data), yang hadir atau “given” /terberi pada pikiran. Tetapi mungkin saja
mereka memiliki pemikiran yang berbeda tentang musik klasik tersebut. Kuncinya
adalah bahwa mereka berdua awalnya berbagi pengalaman dasar yang sama
(non-konseptual) tentang suara musik klasik, pengalaman sensorik keduanya
terbebas dari pemikiran yang mereka mungkin miliki tentang musik klasik.
Kalangan anti fondasionalis, berpendapat
bahwa Antoine dan Collet tidak hanya memiliki pemikiran yang berbeda tentang
musik klasik, tetapi bahwa mereka juga mengalaminya dengan cara yang berbeda. Collet
tidak hanya bisa mengidentifikasi sebuah chord B datar tetapi dia juga bisa
mendengar cord itu. Pengalaman seperti itu tidak bisa dimiliki Antoine, baginya
musik itu terdengar berbeda. Antoine tidak memiliki pengalaman tentang musik
klasik sehingga tidak bisa memahami sebuah musik klasik seperti halnya Collet yang
merupakan seorang profesional cellist.
Contoh
lainnya dapat kita lihat dalam gambar berikut.
Awalnya kita melihat bebek, tetapi coba pikirkan
kelinci, maka sekarang gambar tersebut terlihat berbeda walaupun sebenarnya
anda tetap melihat sebuah configurasi tanda hitam dalam sebuah background
putih. Dalam mengenali gambar tersebut, kita memiliki pengalaman perseptual
yang berbeda tergantung konsep pemikiran kita terhadap gambar tersebut. Dengan
demikian, konsep pemikiran yang kita miliki bisa mempengaruhi pengalaman
perseptual kita terhadap sesuatu hal.
Contoh lain bagaimana pemikiran bisa
mempengaruhi pengalaman perseptual kita tentang dunia, bisa kita lihat dalam
ilustrasi tentang bagaimana perasaan emosi berpengaruh terhadap seperti apa
orang lain terlihat bagi anda. Saat anda jatuh cinta pada seseorang, maka anda
akan melihat orang itu lebih cantik atau tampan, tetapi saat anda sudah muak
dengannya maka dia akan terlihat tidak secantik atau setampan sebelumnya. Contoh
lainnya adalah saat kita melihat sebuah peta. Pendaki gunung berpengalaman melihat garis kontur pada
peta sebagai jurang, tebing curam, dan lembah-lembah, tetapi
bagi seorang pemula garis
kontur tersebut hanya terlihat
sebagai baris biasa.
Dengan melihat beberapa contoh diatas,
memberi kesan bahwa semua yang kita lihat adalah epistemik. Terdapat tidak
hanya seperangkat fondasional, tetapi juga pengalaman-pengalaman non konseptual
yang merupakan bahan mentah bagi pengalaman dan pemikiran konseptual kita.
Hubungan antara pengalaman dan pemikiran adalah holistik: konsep empirikal yang
kita miliki adalah sebuah produk dari perpaduan perseptual kita dengan dunia,
disamping itu karakter pengalaman kita tergantung dari jenis pemikiran
konseptual yang mampu kita miliki.
VI.
Modest Fondasionalism
Kita
telah melihat tiga pandangan yang mengkritik teori fondasionalime. Sellars berpendapat bahwa semua klaim pengetahuan
memerlukan dukungan rasional dan dengan demikian keyakinan mengenai pengalaman perseptual
tidak dapat dijustifikasi secara non-inferentially, baginya, justifikasi
secara esensial adalah sebuah gagasan inferensial (kesimpulan). Bagi barisan Wittgensteinian gagasan pengalaman non-conceptual sangat
tidak dapat dipertahankan. Terakhir, beberapa orang menolak
pandangan fondasionalisme dengan mengatakan pengalaman perseptual tergantung
kepada kemampuan kita secara konseptual membangun struktur pemikiran.
Dengan adanya kritikan
tersebut, maka ada dua respon yang dibuat para fondasionalis, beberapa
memodifikasi fondasionalisme dengan memperhitungkan berbagai kritik yang ada,
sementara yang lainnya menolak kritikan tersebut secara keseluruhan. Beberapa
fondasionalis mencoba untuk mempertahankan “modest”
atau versi moderat dari pendekatannya. Modest
fondasionalisme menghindarkan dilema yang dihadapi pendekatan tradisional. Fondasionalisme moderat menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat
disebut sebagai kepercayaan dasar dan menjadi fondasi justifikasi pengetahuan
bila secara intrinsik memiliki probabilitas kebenaran yang tinggi. Modest Fondasionalisme tidak menuntut
bahwa kepercayaan harus infallible (tak
dapat salah), incorrigible (tidak
dapat disangkal), dan indubitable (tak
dapat diragukan). Apa yang paling diperlukan adalah “penjelasan terbaik” yang
dapat diberikan berdasarkan sebuah kepercayaan dasar.
REFERENSI
O’Brien, Dan. 2006. An Introduction to The Theory of Knowledge. United Kingdom: Polity
Press.
Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar,
Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar