Senin, 16 November 2015

Filsafat Ilmu: FOUNDATIONALISM



FONDASIONALISME

Keyakinan atau kepercayaan harus dijustifikasi dalam rangka pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenaran kepercayaan atau pendapat yang kita pegang. Justifikasi adalah alasan kenapa seseorang memiliki suatu kepercayaan, sebuah penjelasan mengenai kenapa sebuah kepercayaan adalah benar, atau bagaimana seseorang tahu apa yang diketahuinya. Ada beberapa teori justifikasi, diantaranya adalah Fondasionalisme, Koherentisme, serta Internalism dan eksternalism. Pada bab ini kita akan membahas lebih dalam mengenai teori fondasionalisme.

I.                   The Regress Argument for Traditional Foundationalism
Kita memiliki cara berpikir dengan suatu gagasan bahwa kepercayaan dapat dijustifikasi (dibenarkan) bila kita mempunyai alasan yang tepat untuk menganggapnya benar. Keyakinan saya bahwa “restoran lokal asia tidak menyediakan Chana Puri minggu ini” bisa dijustifikasi (dibenarkan) oleh keyakinan saya bahwa “saat itu Ramadhan”, dan keyakinan saya bahwa “breakfast chef tidak bekerja selama festival keagamaaan ini berlangsung”. Jadi keyakinan A dijustifikasi oleh keyakinan B dan C. Dengan justifikasi semacam itu dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan menyampaikan B dan C, saya berkesimpulan bahwa A memang benar. Tetapi, untuk menjadikan B dan C berperan sebagai penjustifikasi, saya memerlukan alasan lebih lanjut untuk menganggap hal itu (B dan C) benar. Disanalah kemudian ada bahaya penarikan mundur (regress) dari sebuah justifikasi. Walaupun keyakinan C dijustifikasi dengan keyakinan D, “saya percaya saat itu Ramadhan karena kalender memperlihatkannya”, sebuah pertanyaan tetap akan mengemuka terkait apakah saya memiliki alasan yang bagus untuk mempertahankan keyakinan ini lebih lanjut (dan seterusnya sampai tak terbatas). Hal ini dianalogikan seperti rasa ingin tahu anak-anak yang secara terus menerus membalas semua penjelasan dengan pertanyaan “mengapa?”. Kondisi inilah yang disebut sebagi regress argument dalam justifikasi tradisional. Untuk menghindari adanya regress ini maka diperkenalkanlah sebuah teori pembenaran yang dinamakan Foundationalism atau Fondasionalisme.
Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Adapun fondasi yang dimaksud oleh para penganut teori pembenaran ini bisa berbentuk intuisi akal budi atau persepsi indrawi. Intuisi adalah kemampuan memahami sesuatu tanpa penalaran rasional dan intelektual dan persepsi indrawi adalah pengalaman yang didapatkan melalui sense indera yang kita miliki. Ungkapan seperti: “menurut pendapat saya”, “menurut penglihatan saya”, “perasaan saya mengatakan.....” adalah pernyataan-pernyataan pembenaran yang berasal dari paham fondasionalisme ini.
Para penganut teori ini membedakan kepercayaan dalam justifikasi ini menjadi dua bagian yaitu:
a.       Kepercayaan dasar
Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan. Secara tradisional, keyakinan dasar memiliki karakteristik
·         Infallible / suatu keniscayaan/ kesempurnaan (tidak bisa salah);
·         Incorrigible / sesuatu yang tidak dapat diperbaiki (tidak dapat disangkal);
·         Indubitable / sesuatu yang sudah pasti (tidak dapat diragukan).
Contoh keyakinan dasar misalnya pada perhitungan matematika kepercayaan dasarnya adalah “positif dikalikan positif = positif ”, “positif dikalikan negatif  = negatif-” dan “ negatif dikalikan negatif  =  positif”
b.      Kepercayaan simpulan.
Kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar. Sebagai contoh, dengan keyakinan dasar bahwa bilangan “positif kali positif adalah positif”, maka semua bilangan yang mengikuti pola “positif kali positif” pada akhirnya harus sesuai dengan keyakinan dasar tersebut, yaitu hasil akhirnya positif. Seperti 2x2=4, 2x3=6, dst.
Dengan demikian, justifikasi kebenaran berstruktur hierarkis, dimana kepercayaan dasar sudah benar pada dirinya sendiri, sedangkan kepercayaan simpulan hanya dapat dibenarkan berdasarkan kepercayaan dasar. Menurut penganut paham fondasionalisme, justifikasi sebuah keyakinan harus dikembalikan kepada sebuah kepercayaan dasar. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk:
(1)      Menghindari argumen penarikan mundur yang terus-menerus (infinite regress argument).
(2)      Menghindari skeptisisme dalam pengetahuan.
Untuk menjelaskan kedua tujuan ini maka berikut ini akan disajikan sejumlah opsi yang dapat diilustrasikan bagi pendasaran kebenaran ini.
·         Pertama, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dimana B sendiri tidak jelas kebenarannya.
·         Kedua, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayaan C, dan begitu seterusnya sampai tak terhingga.
·         Ketiga, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayan C, sedangkan C sendiri berdasar pada kepercayaan A.
·         Keempat, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B yang sudah jelas dengan sendirinya dan tidak memerlukan pembenaran lagi.
Bagi kalangan fondasionalis, tidak mungkin mendasarkan sebuah keyakinan pada suatu keyakinan lain yang keyakinan terakhir ini masih butuh pendasaran pada keyakinan lain lagi sampai tidak ada habisnya, sebagaimana dalam opsi kedua. Begitu juga dengan pilihan ketiga, yang terjadi hanyalah lingkaran setan yang tidak berpangkal dan tidak berujung. Adapun yang pertama sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan karena ketidakjelasannya. Dengan adanya kepercayaan dasar sebagai fondasi yang tidak lagi memerlukan pembenaran dari yang lain, sebagaimana dalam opsi keempat, kepastian dalam pengetahuan dapat tercapai.
Dalam perkembangannya, teori fondasionalisme dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1.        Fondasionalisme versi ketat (hard foundationalism)
Menuntut agar kepercayaan dasar yang menjadi fondasi justifikasi pengetahuan adalah kepercayaan yang tak boleh keliru, tidak dapat diragukan, dan tidak dapat dikoreksi lagi. Oleh karena itu sebuah argumentasi pembenaran harus merujuk pada kepercayaan tertentu sebagai “genus proximum” sehingga dapat dijadikan landasan bagi inferensi logis dari kepercayaan dasar tersebut. Beberapa tokoh hard fondationalism yang dapat dicatat antara lain, Descartes, Leibniz, dan Spinoza dari kalangan rasionalis; Locke, Berkeley, dan Hume dari kalangan empiris; serta Russell, Ayer, dan Carnap dari kalangan positivis logis.;
2.        Fondasionalisme versi moderat atau longgar
Fondasionalisme moderat menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat disebut sebagai kepercayaan dasar dan menjadi fondasi justifikasi pengetahuan bila secara intrinsik memiliki probabilitas kebenaran yang tinggi. Fondasionalisme versi moderat tak menuntut bahwa kepercayaan harus tak dapat keliru dan tak dapat diragukan, dan juga tidak menuntut implikasi logis. Apa yang paling diperlukan adalah “penjelasan terbaik” yang dapat diberikan berdasarkan sebuah kepercayaan dasar.

II.                   Sellars and the Myth of the Given
Menurut pandangan fondasionalis tradisional, justifikasi terhadap semua kepercayaan empiris kita pada akhirnya berasal dari konten pengalaman perseptual. Konten dari pengalaman perseptual ini seringkali dikatakan sebagai “given” (pemberian).
Wilfrid Sellars (1912-1989) adalah seorang fondasionalis dalam aliran empirisme tetapi ia mengkritisi bahaya jatuhnya empirisme ke dalam “Myth of the Given”. Dalam bukunya Empiricism and the Philosophy of Mind, Sellars mempertahankan suatu bentuk empirisme tetapi sekaligus mencegah adanya anggapan mengenai “Mitos Pemberian” itu. Empirisisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang benar itu harus bersumber dari pengalaman (empeiria). Pengalaman, entah yang bersifat indrawi atau batiniah, menjadi pokok refleksi utama. Ide-ide yang ada dalam pikiran kita itu berasal dari pengalaman langsung akan sesuatu.
Ada dua argumen dari Sellars yang digunakan untuk mengkritik teori fondasionalisme tradisional yaitu pertama, dia mengganggap bahwa pengetahuan adalah bagian “ruang logis dari sebuah alasan” (logical space of reason); kedua, dia menyediakan suatu bentuk alternatif untuk mengatakan “itu terlihat merah olehku” sesuatu hal yang secara tradisional terlihat sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah, dalam bentuk “Looks Talk” sebagai bentuk dasar persepsi pengetahuan kita.
Dalam konteks persepsi indrawi, Myth of the Given adalah anggapan yang menyatakan bahwa pengalaman indrawi itu dapat secara langsung kita ketahui tanpa adanya suatu pengetahuan atau konsep yang terasosiasi dengan pengalaman itu. Pengalaman indrawi itu “terberi” begitu saja kepada subjek pengamat. Sebagai contoh, bagaimana saya dapat berkata bahwa “ini berwarna merah”? Dalam kacamata Myth of the Given, warna merah itu sudah terberi begitu saja dan kita mengenalnya sebagai “warna merah”.
Sementara itu, Sellars berpandangan lain. Menurutnya, untuk dapat mengatakan “ini berwarna merah”, kita membutuhkan terlebih dahulu konsep mengenai “apa itu merah”. Untuk dapat memiliki konsep “apa itu merah”, tentu saja hal itu mengasumsikan bahwa kita mengetahui perbedaan warna merah dari warna-warna lainnya, termasuk juga membedakan konsep warna dari konsep-konsep lain seperti bentuk, ukuran, dan lain-lain. Dengan kata lain, perkataan “ini berwarna merah” adalah sebuah ekspresi akan pengalaman observasional yang memuat dua unsur yaitu: pertama “ini berwarna merah” merupakan tanda/symptom akan kehadiran sebuah objek yang secara visual berwarna merah; kedua, “ini berwarna merah” juga merupakan tanda akan kehadiran konsep yang dimiliki oleh si pengamat bahwa “ini berwarna merah” dan bukan berwarna hijau, kuning, hitam, dan sebagainya
Dari pemahaman Sellars ini, dapat dikatakan bahwa dalam sebuah persepsi indrawi terdapat kaitan erat antara subjek dan objek. Subjek tidak semata-mata pasif atau hanya menerima begitu saja apa yang sudah “terberi” di dalam objek. Subjek pun memiliki peranan untuk mengenali pengalaman itu. Dengan demikian, suatu persepsi indrawi memuat adanya korelasi antara objek yang menampakkan dirinya serta subjek yang menangkap objek tersebut dengan kerangka konsep tertentu.

III.                   Konten Konseptual dan Non Konseptual
Kepercayaan adalah konsep yang berperan dalam proses justifikasi. Hanya dengan memikirkan susunan konsep kepercayaan kita dapat menyediakan alasan untuk memberikan justifikasi atas suatu objek. Hal ini dapat terjadi karena mereka dapat membentuk argumen. Seperti misalnya :
Dalam mempercayai sifat cumi-cumi adalah kenyal, maka saya meyakini konsep tentang cumi dan konsep tentang sifat yang kenyal. Kepercayaan saya bahwa Terry tidak akan memesan cumi-cumi di restauran karena kepercayaan saya bahwa Terry tidak suka makan sesuatu yang kenyal dan dikuatkan lagi dengan kepercayaan saya bahwa cumi-cumi bersifat kenyal. Dari kepercayaan saya bahwa Terry tidak suka makan makanan yang kenyal dan kepercayaan saya bahwa cumi-cumi bersifat kenyal, maka saya yakin Terry tidak akan memesan cumi-cumi. Kepercayaan sebelumnya memberikan alasan yang bagus bahwa sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti tampaknya akan menjadi kenyataan. Justifikasi merupakan gagasan yang bersifat kesimpulan atau berasal dari suatu percakapan.
Pada pembahasan tentang persepsi di chapter 4, fondasionalis tradisional memperkenalkan pada kita berbagai macam jenis pengalaman perseptual yang bagi kalangan non-epistemic dilihat sebagai “given” atau pemberian. Pengalaman semacam itu dengan sendirinya menjadi non-konseptual, namun hal itu menyediakan bahan mentah bagi struktur konseptual dari persepsi dan pemikiran kita. Bagi kalangan fondasionalis tradisional, “The given” terdiri dari pengalaman non-konseptual yang memainkan peran sebagai penjustifikasi. Namun menurut Sellar, bagaimanapun konten pengalaman tidak menyediakan kita alasan untuk berpikir tentang sesuatu yang pasti. Oleh karena itu, “the given” adalah sebuah mitos.
Kalangan fondasionalis tradisional menyatakan bahwa yang bersifat sebagai gambaran tidak boleh disejajarkan dengan “konseptual”. “Given” adalah sebuah gambaran/ represensasional yang membawa informasi tentang dunia luar walaupun tidak memerlukan sebuah konsep untuk melakukannya.
Informasi non konseptual adalah deskripsi nyata dari informasi konseptual. Seperti misalnya dijelaskan dalam contoh berikut ini: anggaplah kita memiliki sebuah konsep tentang gunung yaitu sesuatu yang ada di utara dan memiliki sungai kecil dan berbatu. Maka ketika kita pergi kesana (gunung), dan berdiri tepat di depannya maka kita memperoleh informasi yang lebih banyak dan mendetail yang tidak terdeskripsikan secara konseptual. Informasi tentang deskripsi nyata tentang sebuah gunung diluar konsep yang telah kita miliki merupakan suatu konten non-konseptual dari sebuah pengalaman (persepsi indrawi)

IV.                   Wittgenstein’s Private Language Argument
Wittgenstein menyoroti persoalan besar tentang kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu, menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam berfilsafat. Termasuk dalam kekacauan bahasa, diantaranya adalah gagasan dari bahasa pribadi yang sifatnya dirahasiakan. Wittgenstein menggunakan bermacam-macam argumen untuk menunjukan arti premis ini yang sesungguhnya sementara itu ia menunjukan bahwa premis-premis tersebut tidak dapat dipertahankan.Wittgeinstein’s mengemukakan bahasa yang bersifat pribadi hanya bisa diketahui oleh pembicaranya saja, sehingga orang lain tidak bisa mengerti bahasa si pembicara. Jadi pendapat ini, tidak dapat dijadikan dasar kebenaran seperti paham fondasionalisme.
Misal:
·         Seorang anak kecil yang memberi nama khusus untuk semua mainannya yang hanya dapat dimengerti oleh anak itu.
·         Penulisan kode atau simbol pada diary untuk mendeskripsikan sensasi penulisnya.

V.                   Experience and Thought (Pengalaman dan Pemikiran)
Menurut kalangan fondasionalis, ada dua elemen dalam pengalaman kognitif kita yaitu sebuah data atau sense (rasa) yang segera hadir atau terberi dalam pikiran dan sebuah bentuk, konstruksi, atau interpretasi yang menggambarkan aktivitas pemikiran.
Melalui persepsi kita menerima informasi non konseptual tentang dunia, yang menyediakan bahan mentah bagi struktur konseptual dari persepsi dan pemikiran. Pengalaman perseptual itu sendiri bagaimanapun juga bersifat independen dari aktivitas kognitif semacam itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya, pengalaman perseptual dipengaruhi oleh bermacam-macam pikiran yang mampu kita miliki.
Sebagai contoh, Collete adalah pemain cello profesional dan ia mempelajari musik selama bertahun-tahun. Antoine adalah seorang yang jarang mendengarkan musik klasik dan tidak bisa membedakan kunci B datar dari C. Antoiune dan Collete pergi ke pertunjukan Cello. Mari kita pertimbangkan seperti apa sifat dasar dari pengalaman mereka masing-masing saat mengikuti konser. Fondasionalis akan menyatakan bahwa mereka berdua mendapatkan pengalaman yang sama. Ini terjadi karena keduanya menerima rangsangan fisikal yang sama (immediate data), yang hadir atau “given” /terberi pada pikiran. Tetapi mungkin saja mereka memiliki pemikiran yang berbeda tentang musik klasik tersebut. Kuncinya adalah bahwa mereka berdua awalnya berbagi pengalaman dasar yang sama (non-konseptual) tentang suara musik klasik, pengalaman sensorik keduanya terbebas dari pemikiran yang mereka mungkin miliki tentang musik klasik.
Kalangan anti fondasionalis, berpendapat bahwa Antoine dan Collet tidak hanya memiliki pemikiran yang berbeda tentang musik klasik, tetapi bahwa mereka juga mengalaminya dengan cara yang berbeda. Collet tidak hanya bisa mengidentifikasi sebuah chord B datar tetapi dia juga bisa mendengar cord itu. Pengalaman seperti itu tidak bisa dimiliki Antoine, baginya musik itu terdengar berbeda. Antoine tidak memiliki pengalaman tentang musik klasik sehingga tidak bisa memahami sebuah musik klasik seperti halnya Collet yang merupakan seorang profesional cellist.
Contoh lainnya dapat kita lihat dalam gambar berikut.
Awalnya kita melihat bebek, tetapi coba pikirkan kelinci, maka sekarang gambar tersebut terlihat berbeda walaupun sebenarnya anda tetap melihat sebuah configurasi tanda hitam dalam sebuah background putih. Dalam mengenali gambar tersebut, kita memiliki pengalaman perseptual yang berbeda tergantung konsep pemikiran kita terhadap gambar tersebut. Dengan demikian, konsep pemikiran yang kita miliki bisa mempengaruhi pengalaman perseptual kita terhadap sesuatu hal.
Contoh lain bagaimana pemikiran bisa mempengaruhi pengalaman perseptual kita tentang dunia, bisa kita lihat dalam ilustrasi tentang bagaimana perasaan emosi berpengaruh terhadap seperti apa orang lain terlihat bagi anda. Saat anda jatuh cinta pada seseorang, maka anda akan melihat orang itu lebih cantik atau tampan, tetapi saat anda sudah muak dengannya maka dia akan terlihat tidak secantik atau setampan sebelumnya. Contoh lainnya adalah saat kita melihat sebuah peta. Pendaki gunung berpengalaman melihat garis kontur pada peta sebagai jurang, tebing curam, dan lembah-lembah, tetapi bagi seorang pemula garis kontur tersebut hanya terlihat sebagai baris biasa.
Dengan melihat beberapa contoh diatas, memberi kesan bahwa semua yang kita lihat adalah epistemik. Terdapat tidak hanya seperangkat fondasional, tetapi juga pengalaman-pengalaman non konseptual yang merupakan bahan mentah bagi pengalaman dan pemikiran konseptual kita. Hubungan antara pengalaman dan pemikiran adalah holistik: konsep empirikal yang kita miliki adalah sebuah produk dari perpaduan perseptual kita dengan dunia, disamping itu karakter pengalaman kita tergantung dari jenis pemikiran konseptual yang mampu kita miliki.

VI.                   Modest Fondasionalism
Kita telah melihat tiga pandangan yang mengkritik teori fondasionalime. Sellars berpendapat bahwa semua klaim pengetahuan memerlukan dukungan rasional dan dengan demikian keyakinan mengenai pengalaman perseptual tidak dapat dijustifikasi secara non-inferentially, baginya, justifikasi secara esensial adalah sebuah gagasan inferensial (kesimpulan). Bagi barisan Wittgensteinian gagasan pengalaman non-conceptual sangat tidak dapat dipertahankan. Terakhir, beberapa orang menolak pandangan fondasionalisme dengan mengatakan pengalaman perseptual tergantung kepada kemampuan kita secara konseptual membangun struktur pemikiran.
Dengan adanya kritikan tersebut, maka ada dua respon yang dibuat para fondasionalis, beberapa memodifikasi fondasionalisme dengan memperhitungkan berbagai kritik yang ada, sementara yang lainnya menolak kritikan tersebut secara keseluruhan. Beberapa fondasionalis mencoba untuk mempertahankan “modest” atau versi moderat dari pendekatannya. Modest fondasionalisme menghindarkan dilema yang dihadapi pendekatan tradisional. Fondasionalisme moderat menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat disebut sebagai kepercayaan dasar dan menjadi fondasi justifikasi pengetahuan bila secara intrinsik memiliki probabilitas kebenaran yang tinggi. Modest Fondasionalisme tidak menuntut bahwa kepercayaan harus infallible (tak dapat salah), incorrigible (tidak dapat disangkal), dan indubitable (tak dapat diragukan). Apa yang paling diperlukan adalah “penjelasan terbaik” yang dapat diberikan berdasarkan sebuah kepercayaan dasar.




REFERENSI

O’Brien, Dan. 2006. An Introduction to The Theory of Knowledge. United Kingdom: Polity Press.
Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar